SEJARAH HUKUM INDONESIA
Hukum adalah
peraturan yang berupa norma dan sanksi yang dibuat dengan tujuan untuk mengatur
tingkah laku manusia, menjaga ketertiban, keadilan, mencegah terjadinya
kekacauan. Hukum memiliki tugas untuk menjamin bahwa adanya kepastian hukum
dalam masyarakat. Oleh sebab itu setiap masyarat berhak untuk memperoleh
pembelaan didepan hukum. Hukum dapat diartikan sebagai sebuah peraturan atau
ketetapan/ ketentuan yang tertulis ataupun yang tidak tertulis untuk mengatur
kehidupan masyarakat dan menyediakan sangsi untuk orang yang melanggar hukum.
Pembentukan
hukum di Indonesia dapat dilihat dari hukum yang pertama kali dibentuk oleh
Negara Indonesia, yaitu UUD 1945, UUD RIS 1949, UUDS 1950 dan Dekrit Presiden
1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945. Pada perkembangan selanjutnya,
perkembangan hukum di Indonesia dapat dilihat dari Ketetapan (TAP) MPR No. IV
Tahun 1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang mengatur tentang
pembangunan dan pembinaan hukum di Indonesia. Masuk era reformasi, UUD 1945 di
amandemen, pasca amandemen tidak ada lagi GBHN yang mengatur
tentang kebijakan politik hukum nasional. Kemudian, pada saat ini muncul
kembali pandangan perlunya GBHN agar memudahkan arah kebijakan pemerintah
secara nasional.
Seiring
dengan bergantinya Undang-undang Dasar 1945 dan perkembangan peraturan yang ada
pada saat ini mempengaruhi sistem hukum yang ada di Indonesia. Perubahan sistem
hukum di Indonesia dipengaruhi oleh kedatangan investor, sehingga membutuhkan hukum
yang sifatnya lebih responsif yang merupakan ciri sistem hukum jenis common
law.
1. Periode
Kolonialisme
Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC,
Liberal Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.
a.
Periode VOC
Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk:
1) Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri
Belanda;
2) Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan
3) Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang
Eropa.
Hukum
Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa. Sedangkan bagi
pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas
secara mandiri. Tata pemerintahan dan politik pada zaman itu telah meminggirkan
hak-hak dasar rakyat di nusantara dan menjadikan penderitaan yang mendalam
terhadap rakyat pribumi di masa itu.
b.
Periode liberal Belanda
Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut
RR 1854) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang
tujuan utamanya melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri
jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum
pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan
dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap
eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses
peradilan yang bebas.
Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini,
walaupun tidak lagi sebengis sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang dilandasi
oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan
pribumi, karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya subyek eksploitasinya
saja yang berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal
swasta.
c.
Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang
Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara
kebijakan-kebijakan awal politik etis yang berkaitan langsung dengan
pembaharuan hukum adalah:
1) Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk
pendidikan lanjutan hukum;
2) Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk
kaum pribumi;
3) Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi
efisiensi;
4) Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas;
5) Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian
hukum.
Hingga runtuhnya kekuasaan kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda
mewariskan:
1) Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme
lembaga-lembaga peradilan;
2) Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa
dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.
Masa
pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh peraturan
perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang,
tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan
Eropa lainnya. Beberapa perubahan perundang-undangan yang terjadi:
1) Kitab UU
Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang setara,
diberlakukan juga untuk orang-orang Cina;
2) Beberapa peraturan militer
disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku.
Di bidang
peradilan, pembaharuan yang dilakukan adalah:
1) Penghapusan
dualisme/pluralisme tata peradilan;
2) Unifikasi kejaksaan;
3) Penghapusan
pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan;
4) Pembentukan lembaga pendidikan
hukum;
5) Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan
hukum dengan orang-orang pribumi.
2. Periode Revolusi
Fisik Sampai Demokrasi Liberal
a.
Periode Revolusi Fisik
Pembaruan hukum yang sangat berpengaruh di masa awal ini adalah pembaruan di
dalam bidang peradilan, yang bertujuan dekolonisasi dan nasionalisasi:
1)
Meneruskan unfikasi badan-badan peradilan dengan melakukan penyederhanaan;
2)
Mengurangi dan membatasi peran badan-badan pengadilan adat dan swapraja,
kecuali badan-badan pengadilan agama yang bahkan dikuatkan dengan pendirian
Mahkamah Islam Tinggi.
b.
Periode Demokrasi Liberal
UUDS 1950 yang telah mengakui hak asasi manusia. Namun pada masa ini
pembaharuan hukum dan tata peradilan tidak banyak terjadi, yang ada adalah
dilema untuk mempertahankan hukum dan peradilan adat atau mengkodifikasi dan
mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap perkembangan ekonomi
dan tata hubungan internasional. Kemudian yang berjalan hanyalah unifikasi
peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan dan mekanisme pengadilan atau
penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan melalui UU No.
9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan dan
Kekuasaan Pengadilan.
3. Periode
Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru
a.
Periode Demokrasi Terpimpin
Langkah-langkah pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dianggap sangat
berpengaruh dalam dinamika hukum dan peradilan adalah:
1) Menghapuskan doktrin
pemisahan kekuasaan dan mendudukan MA dan badan-badan pengadilan di bawah
lembaga eksekutif;
2) Mengganti lambang hukum ?dewi keadilan? menjadi ?pohon
beringin? yang berarti pengayoman;
3) Memberikan peluang kepada eksekutif untuk
melakukan campur tangan secara langsung atas proses peradilan berdasarkan UU No.19/1964
dan UU No.13/1965;
4) Menyatakan bahwa hukum perdata pada masa kolonial tidak
berlaku kecuali sebagai rujukan, sehingga hakim mesti mengembangkan
putusan-putusan yang lebih situasional dan kontekstual.
b.
Periode Orde Baru
Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru
diawali oleh penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan. Di
bidang perundang-undangan, rezim Orde Baru ?membekukan? pelaksanaan UU Pokok
Agraria, dan pada saat yang sama membentuk beberapa undang-undang yang
memudahkan modal asing berinvestasi di Indonesia; di antaranya adalah UU
Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Selain itu, orde baru
juga melakukan:
1) Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif;
2)
Pengendalian sistem pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis, termasuk
dalam pemikiran hukum; Singkatnya, pada masa orde baru tak ada
perkembangan yang baik dalam hukum Nasional.
4. Periode Pasca
Orde Baru (1998 – Sekarang)
Sejak pucuk eksekutif di pegang Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi
empat kali amandemen UUD RI. Di arah perundang-undangan dan kelembagaan negara,
beberapa pembaruan formal yang mengemuka adalah:
1) Pembaruan sistem politik
dan ketetanegaraan;
2) Pembaruan sistem hukum dan hak asasi manusia; dan
3)
Pembaruan sistem ekonomi.
Penyakit
lama orde baru, yaitu KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) masih kokoh mengakar
pada masa pasca orde baru, bahkan kian luas jangkauannya. Selain itu, kemampuan
perangkat hukum pun dinilai belum memadai untuk dapat menjerat para pelaku
semacam itu. Aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim (kini
ditambah advokat) dilihat masih belum mampu mengartikulasikan tuntutan
permbaruan hukum, hal ini dapat dilihat dari ketidakmampuan Kejaksaan Agung
meneruskan proses peradilan mantan Presiden Soeharto, peradilan pelanggaran
HAM, serta peradilan para konglomerat hitam. Sisi baiknya, pemberdayaan rakyat
untuk menuntut hak-haknya dan mengembangkan sumber daya hukumnya secara
mandiri, semakin gencar dan luas dilaksanakan. Walaupun begitu, pembaharuan
hukum tetap terasa lambat dan masih tak tentu arahnya.
Sumber: