Thursday, July 11, 2019

Kasus Perlindungan Konsumen


Contoh Kasus Perlindungan Konsumen

Kembalian Uang Alfamart

Sengketa antara Mustolih dan PT Sumber Alfaria Trijaya (PT SAT) yang awalnya diselesaikan di Komisi Informasi Pusat dan kemudian berlanjut di Pengadilan Negeri Tangerang , pada dasarnya adalah sengketa yang terkait dengan perlindungan konsumen. Mustolih adalah seorang konsumen yang berbelanja di Alfamart, sebuah toko yang dikelola PT SAT. Sedangkan PT SAT adalah pelaku usaha di bidang ritel. Baik Mustolih maupun PT SAT, keduanya tunduk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Sebagai konsumen, Mustolih memiliki hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa . Dalam kasus sengketa dengan PT SAT, Mustolih ingin menggunakan haknya untuk mengetahui informasi mengenai penggunaan uang kembalian yang didonasikan melalui Alfamart kepada beberapa  yayasan sosial. Memang uang kembalian tersebut tidak dikategorikan sebagai barang yang dikonsumsi. Namun upaya Alfamart untuk menjadi penghubung antara yayasan sosial dengan konsumen yang ingin berdonasi dapat dikategorikan sebagai jasa.

Sebagai pelaku usaha, berdasarkan pasal 7 butir b UU Nomor 8 Tahun 1999, PT SAT berkewajiban untuk memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan . Oleh karena itu, hasil dari jasa pengumpulan donasi yang dilakukan oleh PT SAT melalui kasir Alfamart wajib dilaporkan penggunaannya secara benar, jelas, dan jujur. Tidak ada penjelasan  lebih lanjut tentang maksud benar, jelas, dan jujur dalam UU Nomor 8 Tahun 1999.




Sumber :

Kasus Hak Cipta


Contoh Kasus Hak Cipta

Kasus Hak Cipta Kain

SEMARANG, KOMPAS.com - Setelah menetapkan Presiden Komisaris PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT) Sumitro (44) masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) pada 23 Januari lalu, Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jawa Tengah kembali menetapkan satu orang dalam DPO. Dia adalah Komisaris Utama perusahaan tersebut Indriati (65), yang resmi ditetapkan masuk DPO sejak 2 Februari 2013.

Keduanya merupakan tersangka dalam kasus dugaan pelanggaran hak cipta kain. Perusahaan tersebut memproduksi kain kode benang kuning yang sebenarnya merupakan milik PT Sritex. Kode benang kuning merupakan istilah yang dipakai untuk melabeli kain dengan kualitas bagus. Hak cipta atas kain tersebut dipegang oleh PT Sritex.

Kabid Humas Polda Jawa Tengah Kombes Pol Djihartono mengatakan penetapan DPO untuk Indriati tersebut dikarenakan saat dilakukan penjemputan pada Jumat (1/2/2013), tersangka tidak ditemukan. "Tim kami Jumat kemarin (1/2/2013) melakukan penjemputan di rumahnya di Kecamatan Jebres, Kota Surakarta tapi ternyata sudah kosong," ujarnya, Senin (4/2/2013).

Terkait dengan penetapan DPO tersebut, Polda Jateng, ungkap Djihartono, segera menggandeng Direktorat Jenderal Imigrasi Republik Indonesia dan Interpol untuk melakukan perburuan. "Secepatnya kami berkoordinasi dengan Imigrasi untuk mencegah mereka kabur ke luar negeri," ujarnya. Sedangkan dengan Interpol, pihaknya akan segera memberikan data jika dua orang tersebut merupakan DPO. Sehingga jika memang keduanya diketahui sudah berada di luar negeri tetap bisa ditangkap.

Djihartono mengaku akan terus berupaya untuk segera menemukan kedua buronan itu. Djihartono menambahkan, kasus ini bermula saat PT Sritex melaporkan adanya pemalsuan kain oleh PT DMDT pada Juli 2011 lalu di Polres setempat. Kasus ini kemudian diambil alih Ditreskrimsus Polda Jateng.
Pada Oktober 2011 Ditreskrimsus sudah menahan dua tersangka yakni Direktur PT DMDT Jau Tau Kwan serta distributor kain Ratu Modern di Tanah Abang, Jakarta, Lie Lay Hok sebagai pemesan kain di PT DMDT. Pada 22 Maret 2012, Jau Tau Kwan mendapatkan vonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Karanganyar. Namun pada Agustus 2012, Mahkamah Agung (MA) justru menjatuhi hukuman satu tahun penjara dengan denda Rp1 miliar.

Sayangnya, keberadaan terdakwa juga tidak diketahui. Djihartono mengatakan, dalam kasus tersebut para tersangka dijerat dengan Pasal 72 ayat 1 atau ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta juncto Pasal 55 KUHP dan atau Pasal 56 KUHP. 


Badan Arbitrase Syariah Nasional


Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)

Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah perubahan dari nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang merupakan salah satu wujud dari Arbitrase Islam yang pertama kali didirikan di Indonesia. Pendirinya diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), tanggal 05 Jumadil Awal 1414 H bertepatan dengan tanggal 21 Oktober 1993 M. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) didirikan dalam bentuk badan hukum yayasan sesuai dengan akta notaris Yudo Paripurno, S.H. Nomor 175 tanggal 21 Oktober 1993.

Peresmian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) dilangsungkan tanggal 21 Oktober 1993. Nama yang diberikan pada saat diresmikan adalah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). Peresmiannya ditandai dengan penandatanganan akta notaris oleh dewan pendiri, yaitu Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat yang diwakili K.H. Hasan Basri dan H.S. Prodjokusumo, masing-masing sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebagai saksi yang ikut menandatangani akta notaris masing-masing H.M. Soejono dan H. Zainulbahar Noor, S.E. (Dirut Bank Muamalat Indonesia) saat itu. BAMUI tersebut di Ketuai oleh H. Hartono Mardjono, S.H. sampai beliau wafat tahun 2003.

Kemudian selama kurang lebih 10 (sepuluh) tahun Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) menjalankan perannya, dan dengan pertimbangan yang ada bahwa anggota Pembina dan Pengurus Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) sudah banyak yang meninggal dunia, juga bentuk badan hukum yayasan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sudah tidak sesuai dengan kedudukan BAMUI tersebut, maka atas keputusan rapat Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Nomor : Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) diubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang sebelumnya direkomendasikan dari hasil RAKERNAS MUI pada tanggal 23-26 Desember 2002. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang merupakan badan yang berada dibawah MUI dan merupakan perangkat organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di Ketuai oleh H. Yudo Paripurno, S.H.

Kehadiran Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sangat diharapkan oleh umat Islam Indonesia, bukan saja karena dilatar belakangi oleh kesadaran dan kepentingan umat untuk melaksanakan syariat Islam, melainkan juga lebih dari itu adalah menjadi kebutuhan riil sejalan dengan perkembangan kehidupan ekonomi dan keuangan di kalangan umat. Karena itu, tujuan didirikan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sebagai badan permanen dan independen yang berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri keuangan, jasa dan lain-lain dikalangan umat Islam.
Sejarah berdirinya Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) ini tidak terlepas dari konteks perkembangan kehidupan sosial ekonomi umat Islam, kontekstual ini jelas dihubungkan dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Syariah (BPRS) serta Asuransi Takaful yang lebih dulu lahir.

Di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan belum diatur mengenai bank syariah, akan tetapi dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta sistem keuangan yang semakin maju diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi, termasuk perbankan. Bahwa dalam memasuki era globalisasi dan dengan telah diratifikasinya beberapa perjanjian internasional di bidang perdagangan barang dan jasa, diperlukan penyesuaian terhadap peraturan Perundang-undangan di bidang perekonomian, khususnya sektor perbankan, oleh karena itu dibuatlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan yang mengatur tentang perbankan syariah. Dengan adanya Undang-undang ini maka pemerintah telah melegalisir keberadaan bank-bank yang beroperasi secara syariah, sehingga lahirlah bank-bank baru yang beroperasi secara syariah. Dengan adanya bank-bank yang baru ini maka dimungkinkan terjadinya sengketa-sengketa antara bank syariah tersebut dengan nasabahnya sehingga Dewan Syariah Nasional menganggap perlu mengeluarkan fatwa-fatwa bagi lembaga keuangan syariah, agar didapat kepastian hukum mengenai setiap akad-akad dalam perbankan syariah, dimana di setiap akad itu dicantumkan klausula arbitrase yang berbunyi : ‘’Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara para pihak maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah”.

Dengan adanya fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional tersebut dimana setiap bank syariah atau lembaga keuangan syariah dalam setiap produk akadnya harus mencantumkan klausula arbitrase, maka semua sengketa-sengketa yang terjadi antara perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah dengan nasabahnya maka penyelesaiannya harus melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).

Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) berdiri secara otonom dan independen sebagai salah satu instrumen hukum yang menyelesaikan perselisihan para pihak, baik yang datang dari dalam lingkungan bank syariah, asuransi syariah, maupun pihak lain yang memerlukannya. Bahkan, dari kalangan non muslim pun dapat memanfaatkan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) selama yang bersangkutan mempercayai kredibilitasnya dalam menyelesaikan sengketa.

Lahirnya Badan Arbitrase Syariah Nasional ini, menurut Prof. Mariam Darus Badrulzaman, sangat tepat karena melalui Badan Arbitrase tersebut, sengketa-sengketa bisnis yang operasionalnya mempergunakan hukum Islam dapat diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam.



Sumber:

KPPU


Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

Latar Belakang
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah lembaga independen yang memiliki tugas utama melakukan penegakan hukum persaingan sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999. Dalam melaksanakan tugas tersebut, KPPU diberi wewenang untuk menyusun pedoman yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, sebagaimana tercantum dalam pasal 35 huruf. Sebagai bagian dari pelaksanaan Pasal 35 huruf f tersebut, KPPU menyusun pedoman pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengenai definisi pasar bersangkutan. Pendefinisian pasar bersangkutan merupakan sebuah bagian yang sangat penting dalam proses pembuktian penegakan hukum persaingan, terutama menyangkut beberapa potensi penyalahgunaan penguasaan pasar oleh pelaku usaha tertentu. Upaya menguraikan pasar bersangkutan memiliki kompleksitas yang tersendiri, yang terkait dengan konsep dan metodologi ekonomi, sehingga untuk memahaminya diperlukan pedoman yang bisa menjelaskan bagaimana sebuah pasar bersangkutan ditetapkan dalam sebuah kasus persaingan. Dalam kaitan dengan itulah pedoman pasar bersangkutan ini disusun dan diharapkan dapat memberikan penjelasan kepada seluruh stakeholder hukum persaingan mengenai pendefinisian pasar bersangkutan serta metode pendekatan yang digunakan oleh KPPU melaksanakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat.

Tujuan Pembuatan Pedoman Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dibentuk untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Salah satu tugas yang diamanatkan kepada KPPU berdasarkan Pasal 35 huruf f Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah menyiapkan Pedoman atas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pedoman dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, khususnya dalam pasal tertentu agar mudah dipahami oleh stakeholder hukum persaingan. Sebagaimana tujuan penyusunan pedoman oleh KPPU, maka tujuan dari penyusunan Pedoman Pasar Bersangkutan adalah untuk :
a. Memberikan pengertian yang jelas, benar dan tepat tentang apa yang dimaksud dengan pasar bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;
b. Memberikan dasar pemahaman dan arah yang jelas dalam pendefinisian pasar bersangkutan menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, sehingga tidak menimbulkan kemungkinan adanya penafsiran lain selain yang diuraikan dalam Pedoman ini; dan
c. Digunakan oleh semua pihak sebagai landasan informasi agar dapat menciptakan adanya kondisi persaingan usaha yang dapat tumbuh secara sehat.
Pedoman tentang pasar bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana KPPU melakukan pemeriksaan dalam melaksanakan penegakan hukum atau memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah, namun lebih diarahkan kepada upaya memberikan pengertian, cakupan serta batasan-batasan yang jelas tentang hal-hal yang berkaitan dengan Pasar Bersangkutan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor Tahun 2009 Tanggal Juni 2009 3 Walaupun telah ada uraian Pedoman Pasar Bersangkutan, namun demikian pandangan dan putusan Komisi dalam proses pelaksanaan penegakan hukum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 akan tetap didahulukan.

Tugas dan Wewenang
Undang-undang No 5 Tahun 1999 menjelaskan bahwa tugas dan wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah sebagai berikut:
Tugas
  1. melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16;
  2. melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24;
  3. melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28;
  4. mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 36;
  5. memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
  6. menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-undang ini;
  7. memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Wewenang
  1. menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
  2. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
  3. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil penelitiannya;
  4. menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
  5. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;
  6. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahuipelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;
  7. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi;
  8. meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini;
  9. mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;
  10. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat;
  11. memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
  12. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.



Sumber:

Monday, April 22, 2019

PT. Garuda Indonesia


Sejarah Singkat PT. Garuda Indonesia
PT Garuda Indonesa (Persero) Tbk adalah maskapai penerbangan nasional yang dimiliki oleh Pemerintah Indonesia ( BUMN ). Sejarah berdirinya PT Garuda Indonesia bermula pada tanggal 16 juni 1948. Presiden pertama RI, Ir Soekarno memberikan idennya di depan sejumlah pemuka pedagang aceh untuk membeli pesawat DC 3 (Dakota) dalam rangka melanjutkan dan meningkatkan revolusi kemerdekaan melawan belanda. Pidao Soekarno yang berkharisma tersebut dapat memukau dan meyakinkan mereka sehingga dalam tempo dua hari, mereka dipimpin oleh Bapak Djuned Yusuf dan Bapak Said Muhammad Alhabsyi, berhasil mengumpulkan uang sebanyak 130.000 Strait Dollar dan 20 kg emas.

Dengan modal tersebut Opsir Udara II, Wiseko Supomo selaku ketua misi pembelian yang kemudian disusul oleh beberapa pedagang aceh pergi ke Singapura untuk membeli pesawat DC-3 (Dakota). Pada akhir Oktober 1948 pesawat tersebut dibawa ke Indonesia dan ditempatkan di Maguwo, Yogyakarta. Pesawat tersebut kemudia diberi nama RI 001 “SEULAWAH” (gunung emas) yang diambil dari nama sebuah gunung di Aceh, sebagai ucapan terima kasih kepada rakyat Aceh.

Seperti yang diungkapkan Rispan (2005) perusahaan penerbangan bernama Garuda Indonesia Airways dinyatakan berdiri bersamaan dengan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Tetapi sejarah mencatat bahwa pada tanggal 26 januari 1949 merupakan hari lahirnnya penerbangan niaga Indonesia.
Sekarang PT. Garuda Indonesia adalah maskapai penerbangan Indonesia yang berkonsep sebagai full service airline (maskapai dengan pelayanan penuh). Saat ini Garuda Indonesia mengoperasikan 82 armada untuk melayani 33 rute domestik dan 18 rute internasional termasuk Asia (Regional Asia Tenggara, Timur Tengah, China, Jepang dan Korea Selatan), Australia serta Eropa (Belanda).
Berbagai penghargaan pun telah diterima oleh Garuda Indonesia sebagai bukti dari keunggulannya. Pada tahun 2010, Skytrax menobatkan Garuda Indonesia sebagai “Four Star Airline” dan sebagai “The World’s Most Best Improved Airline”. Selanjutnya pada Juli 2012, Garuda Indonesia mendapatkan penghargaan sebagai “World’s Best Regional Airline” dan “Maskapai Regional Terbaik di Dunia”.  Sebuah lembaga konsultasi penerbangan bernama Centre for Asia Aviation (CAPA), yang berpusat di Sydney, juga memberikan penghargaan kepada Garuda Indonesia sebagai “Maskapai yang Paling Mengubah Haluan Tahun Ini”, pada tahun 2010. Sedangkan Roy Morgan, lembaga peneliti independen di Australia, juga memberikan penghargaan kepada Garuda Indonesia sebagai “The Best International Airline” pada bulan Januari, Februari dan Juli 2012.

Saat ini Garuda Indonesia memiliki tiga hub di Indonesia. Pertama adalah hub bisnis yang berada di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Kedua adalah hub di daerah pariwisata yang berada di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali. Kemudian untuk meningkatkan frekuensi penerbangan ke bagian timur Indonesia, Garuda Indonesia juga memiliki hub di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan.

PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. adalah maskapai pertama dan terbesar di Indonesia, Dengan pendekatan berorientasi “melayani”, Garuda Indonesia bertujuan menjadi penyedia layanan terdepan bagi wisatawan di negara inisekaligus menyediakan layanan pengiriman barang melalui udara. Grup Garuda Indonesia pada saat ini memiliki lima anak perusahaan yakni PT Aerowisata, PT GMF Aero Asia, PT Abacus Distribution System, PT Gapura Angkasa dan PT Aero System Indonesia
Pada bulan Februari 2011, Garuda Indonesia telah menjadi Perusahaan Publik dan terdaftar di Bursa Efek Indonesia.

Dasar Hukum Pendirian PT. Garuda Indonesia
Akta Pendirian No. 8 tanggal 4 Maret 1975 sebagaimana diubah dengan Akta Perubahan No. 42 tanggal 21 April 1975, dan kemudian diubah dengan Akta Perubahan No. 24 tanggal 12 Juni 1975, ketiganya dibuat di hadapan Soeleman Ardjasasmita, S.H., Notaris di Jakarta yang telah mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia berdasarkan Surat Keputusan No. Y.A. 5/225/8 tertanggal 23 Juni 1975 (“Akta Pendirian”).
Kepemilikan
• Pemerintah Negara Republik Indonesia : 60,5%
• Credit Suisse AG Singapore TC AR CL PT Trans Airways: 24,6%
• Masyarakat (kepemilikan di bawah 2%): 14,9%

Anggaran Dana PT. Garuda Indonesia
PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) berencana menerbitkan obligasi global (global bonds) senilai Rp2 triliun pada Juni 2018. Perseroan akan menggunakan dana hasil emisi global bond untuk membiayai kembali (refianncing) utangnya. 
Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Garuda Indonesia, Helmi Imam Satriyono, mengatakan, Garuda memiliki obligasi yang akan jatuh tempo pada Juli 2018 senilai Rp2 triliun. 
Perseroan memilih surat utang beredenominasi dolar Amerika Serikat (AS) karena pencatatan dalam laporan keuangan juga menggunakan mata uang dolar AS. "Kami lebih condong menerbitkan obligasi dalam bentuk dolar AS, ketimbang rupiah," ujar Helmi, Rabu, 25 Oktober 2017. 
Penerbitan obligasi rupiah menjadi kurang efektif lantaran maskapai penerbangan pelat merah ini harus melakukan biaya lindung nilai (hedging). Penerbitan global bonds Garuda rencanannya akan menggunakan buku Desember 2017.

Referensi:





Objek Hukum


Objek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subjek hukum  dan yang dapat menjadi objek suatu hubungan hukum karena hal itu dapat dikuasai oleh subjek hukum.
Dalam bahasa hukum, objek hukum dapat juga disebut hak atau benda yang dapat dikuasai dan/atau dimiliki subyek hukum. Misalnya, Andi meminjamkan buku kepada Budi. Di sini, yang menjadi objek hukum dalam hubungan hukum antara Andi dan Budi adalah buku. Buku menjadi objek hukum dari hak yang dimiliki Andi.
Jenis Objek Hukum berdasarkan pasal 503-504 KUH Perdata, disebutkan “Bahwa benda dapat bigai menjadi 2, yakni Benda yang bersifat kebendaan ( Materiekegoderen ) dan Benda yang bersifat tidak kebendaan ( Immateriekogoderan ). Berikut ini adalah penjelasannya :
1.      Benda yang bersifat kebendaan ( Materiekegoderen ) ialah suatu benda yang sifatnya dapat dilihat, diraba dan dirasakan dengan panca indera yang terdiri dari benda berubah / berwujud. Yang meliputi :
a.       Benda bergerak / tidak tetap, yang berupa benda yang dapat dihabiskan dan benda yang tidak dapat dihabiskan.
b.      Benda tidak bergerak.
2.      Benda yang bersifat tidak kebendaan ( Immateriekogoderan ) ialah suatu benda yang dirasakan oleh panca indera saja ( tidak dapat dilihat ) dan kemusian dapat direalisasikan menjadi suatu kenyataan. Misalnya merk perusahaan, paten dan ciptaan music / lagu.

B.     Benda Sebagai Objek Hukum
Objek hukum dapat berupa benda, baik benda yang bergerak, (misalnya mobil dan hewan) maupun benda tidak bergerak (misalnya tanah dan bangunan). Di samping itu, objek hukum dapat berupa benda berwujud (misalnya tanah, bangunan, dan mobil) maupun benda tidak berwujud (misalnya hak cipta, hak merek, dan hak paten).
Kemudian berdasarkan pasal 503-504 KUH Perdata disebutkan bahwa benda dapat dibagi menjadi 2, yakni benda yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen), dan benda yang bersifat tidak kebendaan (Immateriekegoderan). Benda yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen)
Benda yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen) adalah suatu benda yang sifatnya dapat dilihat, diraba, dirasakan dengan panca indera, terdiri dari benda berubah / berwujud, meliputi :
1.        Benda bergerak / tidak tetap, berupa benda yang dapat dihabiskan dan benda yang tidak dapat dihabiskan. Dibedakan menjadi sebagai berikut :
·         Benda bergerak karena sifatnya, menurut pasal 509 KUH Perdata adalah benda yang dapat dipindahkan, misalnya meja, kursi, dan yang dapat berpindah sendiri contohnya ternak.
·         Benda bergerak karena ketentuan undang-undang, menurut pasal 511 KUH Perdata adalah hak-hak atas benda bergerak, misalnya hak memungut hasil (Uruchtgebruik) atas benda-benda bergerak, hak pakai (Gebruik) atas benda bergerak, dan saham-saham perseroan terbatas.
2.        Benda tidak bergerak
Benda tidak bergerak dapat dibedakan menjadi sebagai berikut :
·         Benda tidak bergerak karena sifatnya, yakni tanah dan segala sesuatu yang melekat diatasnya, misalnya pohon, tumbuh-tumbuhan, area, dan patung.
·         Benda tidak bergerak karena tujuannya yakni mesin alat-alat yang dipakai dalam pabrik. Mesin senebar benda bergerak, tetapi yang oleh pemakainya dihubungkan atau dikaitkan pada bergerak yang merupakan benda pokok.
·         Benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang, ini berwujud hak-hak atas benda-benda yang tidak bergerak misalnya hak memungut hasil atas benda yang tidak dapat bergerak, hak pakai atas benda tidak bergerak dan hipotik.
Dengan demikian, membedakan benda bergerak dan tidak bergerak ini penting, artinya karena berhubungan dengan 4 hal yakni :
1.      Pemilikan (Bezit)
Pemilikan (Bezit) yakni dalam hal benda bergerak berlaku azas yang tercantum dalam pasal 1977 KUH Perdata, yaitu berzitter dari barang bergerak adalah pemilik (eigenaar) dari barang tersebut. Sedangkan untuk barang tidak bergerak tidak demikian halnya.
2.      Penyerahan (Levering)
Penyerahan (Levering) yakni terhadap benda bergerak dapat dilakukan penyerahan secara nyata (hand by hand) atau dari tangan ke tangan, sedangkan untuk benda tidak bergerak dilakukan balik nama.
3.      Daluwarsa (Verjaring)
Daluwarsa (Verjaring) yakni untuk benda-benda bergerak tidak mengenal daluwarsa, sebab bezit di sini sama dengan pemilikan (eigendom) atas benda bergerak tersebut sedangkan untuk benda-benda tidak bergerak mengenal adanya daluwarsa


Referensi:

Friday, March 29, 2019

Sejarah Hukum Indonesia

SEJARAH HUKUM INDONESIA

  • Pengertian Hukum


Hukum adalah peraturan yang berupa norma dan sanksi yang dibuat dengan tujuan untuk mengatur tingkah laku manusia, menjaga ketertiban, keadilan, mencegah terjadinya kekacauan. Hukum memiliki tugas untuk menjamin bahwa adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Oleh sebab itu setiap masyarat berhak untuk memperoleh pembelaan didepan hukum. Hukum dapat diartikan sebagai sebuah peraturan atau ketetapan/ ketentuan yang tertulis ataupun yang tidak tertulis untuk mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sangsi untuk orang yang melanggar hukum.


  • Sejarah Hukum Indonesia


Pembentukan hukum di Indonesia dapat dilihat dari hukum yang pertama kali dibentuk oleh Negara Indonesia, yaitu UUD 1945, UUD RIS 1949, UUDS 1950 dan Dekrit Presiden 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945. Pada perkembangan selanjutnya, perkembangan hukum di Indonesia dapat dilihat dari Ketetapan (TAP) MPR No. IV Tahun 1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang mengatur tentang pembangunan dan pembinaan hukum di Indonesia. Masuk era reformasi, UUD 1945 di amandemen, pasca amandemen tidak ada lagi GBHN yang mengatur tentang kebijakan politik hukum nasional. Kemudian, pada saat ini muncul kembali pandangan perlunya GBHN agar memudahkan arah kebijakan pemerintah secara nasional.

Seiring dengan bergantinya Undang-undang Dasar 1945 dan perkembangan peraturan yang ada pada saat ini mempengaruhi sistem hukum yang ada di Indonesia. Perubahan sistem hukum di Indonesia dipengaruhi oleh kedatangan investor, sehingga membutuhkan hukum yang sifatnya lebih responsif yang merupakan ciri sistem hukum jenis common law.

1. Periode Kolonialisme

Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.

a. Periode VOC

Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk:
1) Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda;
2) Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan
3) Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa.
Hukum Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa. Sedangkan bagi pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri. Tata pemerintahan dan politik pada zaman itu telah meminggirkan hak-hak dasar rakyat di nusantara dan menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat pribumi di masa itu.

b. Periode liberal Belanda

Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR 1854) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses peradilan yang bebas.


Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak lagi sebengis sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi, karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal swasta.

c. Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang

Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah: 

1) Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum; 
2) Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi;
3) Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi;
4) Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas; 
5) Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian hukum. 

Hingga runtuhnya kekuasaan kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan:
1) Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga peradilan; 
2) Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.
Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Beberapa perubahan perundang-undangan yang terjadi: 
1) Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang setara, diberlakukan juga untuk orang-orang Cina; 
2) Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. 

Di bidang peradilan, pembaharuan yang dilakukan adalah: 
1) Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan; 
2) Unifikasi kejaksaan; 
3) Penghapusan pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan; 
4) Pembentukan lembaga pendidikan hukum; 
5) Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum dengan orang-orang pribumi.

2. Periode Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal

a. Periode Revolusi Fisik

Pembaruan hukum yang sangat berpengaruh di masa awal ini adalah pembaruan di dalam bidang peradilan, yang bertujuan dekolonisasi dan nasionalisasi: 

1) Meneruskan unfikasi badan-badan peradilan dengan melakukan penyederhanaan; 
2) Mengurangi dan membatasi peran badan-badan pengadilan adat dan swapraja, kecuali badan-badan pengadilan agama yang bahkan dikuatkan dengan pendirian Mahkamah Islam Tinggi.

b. Periode Demokrasi Liberal

UUDS 1950 yang telah mengakui hak asasi manusia. Namun pada masa ini pembaharuan hukum dan tata peradilan tidak banyak terjadi, yang ada adalah dilema untuk mempertahankan hukum dan peradilan adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian yang berjalan hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan dan mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan.

3. Periode Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru

a. Periode Demokrasi Terpimpin

Langkah-langkah pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dianggap sangat berpengaruh dalam dinamika hukum dan peradilan adalah: 

1) Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukan MA dan badan-badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif; 
2) Mengganti lambang hukum ?dewi keadilan? menjadi ?pohon beringin? yang berarti pengayoman; 
3) Memberikan peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur tangan secara langsung atas proses peradilan berdasarkan UU No.19/1964 dan UU No.13/1965; 
4) Menyatakan bahwa hukum perdata pada masa kolonial tidak berlaku kecuali sebagai rujukan, sehingga hakim mesti mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional dan kontekstual.

b. Periode Orde Baru

Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan. Di bidang perundang-undangan, rezim Orde Baru ?membekukan? pelaksanaan UU Pokok Agraria, dan pada saat yang sama membentuk beberapa undang-undang yang memudahkan modal asing berinvestasi di Indonesia; di antaranya adalah UU Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Selain itu, orde baru juga melakukan: 

1) Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif; 
2) Pengendalian sistem pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum; Singkatnya, pada masa orde baru tak ada
perkembangan yang baik dalam hukum Nasional.

4. Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)

Sejak pucuk eksekutif di pegang Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi empat kali amandemen UUD RI. Di arah perundang-undangan dan kelembagaan negara, beberapa pembaruan formal yang mengemuka adalah: 

1) Pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan; 
2) Pembaruan sistem hukum dan hak asasi manusia; dan 
3) Pembaruan sistem ekonomi.
Penyakit lama orde baru, yaitu KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) masih kokoh mengakar pada masa pasca orde baru, bahkan kian luas jangkauannya. Selain itu, kemampuan perangkat hukum pun dinilai belum memadai untuk dapat menjerat para pelaku semacam itu. Aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim (kini ditambah advokat) dilihat masih belum mampu mengartikulasikan tuntutan permbaruan hukum, hal ini dapat dilihat dari ketidakmampuan Kejaksaan Agung meneruskan proses peradilan mantan Presiden Soeharto, peradilan pelanggaran HAM, serta peradilan para konglomerat hitam. Sisi baiknya, pemberdayaan rakyat untuk menuntut hak-haknya dan mengembangkan sumber daya hukumnya secara mandiri, semakin gencar dan luas dilaksanakan. Walaupun begitu, pembaharuan hukum tetap terasa lambat dan masih tak tentu arahnya.




Sumber: