Kasus PT. Aria West International Dengan PT. Telkom
Persengketaan ini bermula dari perbedaan pandangan
soal butir-butir Kerja Sama Operasional (KSO) antarkedua belah pihak yang
ditandatangani pada 1995. Awalnya, Telkom menggugat Aria West ke pengadilan
lantaran perusahan itu tak membangun ratusan ribu satuan sambungan telepon
sebagaimana tertuang dalam butir KSO. Sebaliknya, Aria West membawa perkara itu
ke Badan Arbitrase Internasional. Alasannya, Telkom telah mengabaikan beberapa butir
kesepakatan KSO. Untuk itu, Aria West menuntut Telkom membayar kepada mereka
sebesar US$ 1,3 miliar.
Telkom
Cidera Janji
Pernyataan pihak AWI ini agaknya
ingin menegaskan kembali posisi PT Telkom yang dianggap telah cidera janji
dalam kontrak KSO (kerjasama operasi). Sebelumnya, pada 1 April 2001 AWI
mengeluarkan rilis yang menyatakan pihaknya akan menyetop pembayaran pendapatan
ke Telkom. Ini terkait dengan tidak dilaksanakannya kewajiban-kewajiban Telkom
dalam kontrak KSO. Sebagai mitra KSO Telkom dalam pembangunan tambahan SST
(satuan sambungan telepon) di Divisi Regional (Divre) III Jawa Barat, AWI
diwajibkan mengeluarkan MTR (Minimum Telkom Revenue) untuk setiap SST yang
telah terpasang. Di pihak lain, Telkom wajib membangun sejumlah 474.000 SST
sebagai lawan prestasinya.
Dalam perjanjian itu, Telkom juga menyanggupi
menyelesaikan 107.536 SST tambahan di Divre III pada akhir 1997. Atas dasar
itulah kemudian AWI menyanggupi dan mulai membayar MTR pada Februari 1996. Akan
tetapi, sampai dengan 30 Maret 2001, meminjam istilah AWI, Telkom gagal
memenuhi kewajibannya. Denni menjelaskan bahwa bagaimanapun juga, jumlah MTR
adalahfixed karena acuannya adalah jumlah SS'T yang dianggap telah ada.
"Sekarang yang terjadi kami telah membayar MTR tersebut mulai 1996, tetapi
SST tambahan yang diperjanjikan ternyata belum terpasang," kata Denni. Itu
merupakan konsekuensi logis karena 107.536 SST yang dijadikan asumsi awal tidak
terpenuhi sebagaimana mestinya.
Tidak memiliki bukti
Sedangkan menurut Telkom, mereka telah memenuhi target
107.536 SST dan bahkan realisasinya telah melebihi target. Seperti
diberitakan Kompas, Presiden Komunikasi Telkom, D. Amarudien, sejak
November 1995 telah terbangun sebanyak 152.940 SST atau ALU (access line
unit). Ditambah lagi, semua bukti-buktinya telah diserahterimakan kepada
Direksi AWI pada 16 Juli 1997.
Ketika hal ini dikonfirmasikan ke AWI, mereka menyatakan berkas-berkas yang
diserahkan Telkom pada 1997 itu hanyalah merupakan klaim, bukan bukti realisasi
proyek. Terlebih lagi, AWI menganggap berkas-berkas tersebut tidak disertai
dengan data pendukung yang cukup. Dan tidak seperti yang
diberitakan di beberapa media, Denni mengungkapkan bahwa pembayaran MTR yang
dihentikan hanya sebesar 25% dari jumlah yang seharusnya. Sejak 1996 AWI
membayar MTR kepada Telkom sebesar Rp340 miliar. AWI menghentikan pembayaran
pendapatan atas saham tambahan kepada Telkom itu sebagai upaya untuk
mengembalikan kelebihan pembayaran.
Negosiasi buy out tersendat
Sebagai pilihan lain untuk menyelesaikan sengketa
dengan Telkom, AWI saat ini tengah serius menjajaki opsi buy out.
Akan tetapi, lagi-lagi negosiasi buy out pun berjalan
tersendat. Pasalnya, harga yang diajukan Telkom sangat jauh terpaut dengan yang
diinginkan AWI.
Untuk transaksi buy out ini, AWI mengajukan nilai AS$ 1,3
miliar, sedangkan Telkom di lain pihak merasa cukup dengan angka AS$ 260 juta.
Nilai transaksi kedua mitra bisnis ini memang terpaut sangat jauh. Argumen
Telkom yang menyertai angka AS$ 260 juta mengacu pada penilaian kinerja AWI.
Di sisi lain, AWI menyatakan jumlah itu masih jauh
dari hasil proyeksi ABN Amro atas transaksi itu, yaitu sebesar AS$ 675 juta.
ABN Amro dalam hal ini, menurut AWI, merupakan konsultan independen yang tidak
ada hubungan bisnis dengan AWI dan juga Telkom. "Jadi penilaiannya pasti
objektif," tegas Denni .
Sebenarnya, saat kontrak KSO ditandatangani pada 1995,
AWI dan Telkom sepakat untuk melakukan kerjasama sampai dengan 2010. Kemudian
di tengah jalan, lahirlah UU No.36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, sehingga
pemerintah menawarkan mitra KSO Telkom lima opsi, yaitu modifikasi
perjanjian, joint venture dengan Telkom atau Indosat, lisensi,
dan yang terakhir buy out.
Tidak diperlukan analisa khusus untuk mengatakan bahwa
negosiasi ini akan berjalan lebih alot ketimbang negosiasi pembelian silang
saham Telkom dengan Indosat beberapa waktu lalu. Bila kedua pihak akhirnya
sepakat akan membawa sengketa ini ke arbitrase internasional, urusannya bakal
panjang dan repot.
Obyektivitas
pemerintah
Menteri Perhubungan Agum Gumelar Sabtu setelah bertemu
dengan Presiden Abdurrahman Wahid di Istana Merdeka pada 7 April 2001 berjanji
akan memfasilitasi kedua kubu agar "perceraian" antara AWI dengan
Telkom dapat berjalan mulus. Agum belum menentukan seperti apa bentuk
fasilitasinya, tapi itu telah menunjukan kepedulian pemerintah atas persoalan
ini. Agaknya sulit meyakinkan AWI untuk tidak melanjutkan sengketa ini ke
arbitrase internasional, dan sebaliknya menunggu jalur yang akan dirancang
pemerintah. Pasalnya, pemerintah dan Telkom selama ini seia sekata. Jadi,
mungkin pihak AWI menilai tawaran itu adalah lelucon belaka. Memang, tidak mudah bagi pemerintah untuk bersikap obyektif dalam menangani
masalah ini. Jika kisruh Telkom dan AWI jadi dibawa ke arbitrase internasional,
pertarungan antar-pengacara dua kubu dapat diramalkan akan berlangsung seru.
Penyelesaian
Sengketa antara PT
Telkom dan PT Aria West Internasional (AWI) melalui proses yang berat dan
memakan waktu hampir dua tahun, akhirnya diselesaikan melalui akuisisi AWI oleh
PT Telkom dalam Tahun 2003. Dalam sangketa ini, Awi menggunakan Pricewaterhouse
Coopers (PwC) sebagai akuntan forensiknya, dan penyelesaikan dilakukan di luar
pengadilan. Perdamaian
ditandai dengan pembelian seluruh saham AWI oleh Telkom senilai US$ 184,5 juta.
Terlebih lagi, kedua belah pihak memang terkait dengan pembangunan jaringan
telepon di Provinsi Jawa Barat dan Banten lewat Kerja Sama Operasi (KSO) Divre
III. Pembayaran akan diserahkan kepada pemilik lama saham AWI: Media One
Internasional, Aria Infotek, dan Infrastructure Fund. Sedangkan dana buat
membeli seluruh saham AWI diperoleh dari pendapatan operasional KSO Divre III sebesar
Rp 1,3 Triliun. Ada lagi sejumlah kesepakatan
lain yang disebutkan dalam penyelesaian damai itu. Di antaranya kesepakatan
untuk mengizinkan Telkom mengelola KSO Divre III buat sementara waktu, paling
lambat sampai 30 Agustus 2002 atau penutupan transaksi. PT Telkom juga
bertanggung jawab untuk melunasi utang PT AWI sebesar US$ 285 juta. Untuk itu,
Telkom akan merestrukturisasi saham dan melunasi utang itu dari hasil
pendapatan operasional KSO Divre III.
Bermacam-macam hal dapat memicu terjadinya sangketa.
Sangketa antara dua pihak bisa diselesaikan dengan cara berbeda, apabila
menyangkut dua pihak. Pihak yang bersangketa bisa menyelesaikan melalui
arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, sedang pihak lain melalui
litigasi. Dalam hal ini, penyelesaian adalah dengan cara hukum, tetapi yang
pertama diselesaikan di luar pengadilan, sedangkan yang satunya lagi melalui
proses beracara di pengadilan.
Sumber:
https://www.liputan6.com/news/read/33950/telkom-aria-west-berdamai
Kasus Ayam Goreng Ny.Suharti
Salah satu Rumah Makan Ayam Goreng
yang terkenal adalah Ayam Goreng Ny. Suharti. Ayam Goreng Ny. Suharti pertama
kali muncul sejak tahun 1962 di Yogyakarta. Pada awalnya Ny. Suharti beserta
suami menjual ayam gorengnya berkeliling dari rumah ke rumah di sekitar
Yogyakarta. Setelah penjualannya meningkat, muncul keinginan untuk memerbesar
usahanya dengan mendirikan rumah makan. Maka didirikanlah rumah makan dengan
nama Rumah Makan Ayam Goreng Mbok Berek Baru pada tahun 1969 di Yogyakarta.
Dinamakan Mbok Berek Baru karena Ny. Suharti masih keturunan ketiga Mbok Berek
yang juga merupakan pengusaha Rumah Makan Ayam Goreng (Herizalma, 2015).
Setelah beberapa tahun dirasakan, perkembangan Ayam Goreng Mbok Berek Baru
cukup baik, sehingga Ny. Suharti memutuskan untuk mengubah nama rumah makannya
dengan nama “Rumah Makan Ayam Goreng Ny.Suharti” pada tahun 1972 dengan pusat
di Jl. Sucipto No. 208 Yogyakarta. Perkembangan Ayam Goreng Ny. Suharti
ternyata sangat pesat. Terbukti dengan didirikannya beberapa cabang di beberapa
kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Pekan
Baru, Medan dan Lampung.
Perusahaan
ini merupakan perusahaan perorangan yang dibangun berdasarkan prinsip
kekeluargaan. Konsep kekeluargaan diterapkan pada pimpinan dan karyawan, dimana
setiap karyawan dituntut untuk menciptakan hubungan yang harmonis, perasaan
saling memiliki serta tanggung jawab bersama. Konsep inilah yang menjadikan
Ayam Goreng Ny. Suharti terlihat lebih unik dan mendapat preferensi khusus dari
konsumennya.
Rumah
Makan Ayam Goreng Ny. Suharti ini mengalami pemecahan kepemilikan. Pada awalnya
yaitu tahun 1962, rumah makan tersebut dimiliki oleh Ny.Suharti dan suaminya.
Tetapi setelah 30 tahun menjalankan bisnis, usaha tersebut terpecah karena
masalah keluarga. Ternyata ia dikhianati sang suami yang membawa lari semua
usahanya yang sudah mereka rintis sejak awal. Semua cabang yang sudah dibuka
pun diakuisisi oleh suaminya. Hal tersebut dipicu oleh kehadiran orang ketiga
yang berhasil menggoda sang suami, Sachlan. Meski Suharti menuding suaminya berbuat curang, tapi nasi
telah menjadi bubur. Suaminya adalah pemilik resmi dan sah usaha tersebut. Pada tahun 1992, Suharti merelakan kejadian pahit tersebut dan
memberanikan diri untuk membuka kembali gerai ayam gorengnya di Semarang dan
terpisah dengan suaminya. Logo Rumah Makan Ayam Goreng Ny. Suharti pun
mengalami perubahan. Logo awal usaha tersebut adalah bergambar dua
ayam dengan huruf S di tengahnya dan tulisan Ny. Suharti. Kemudian berganti
menjadi logo dengan potret Ny. Suharti yang memakai busana Jawa.
Sumber:
http://repository.maranatha.edu/23288/3/1230093_Chapter1.pdf
https://www.liputan6.com/bisnis/read/752879/lika-liku-dua-logo-ayam-goreng-nysuharti
Vincentius Amin Sutanto, Justice
Collaborator Kasus Pajak PT Asian Agri
PT Asian Agri Group
(AAG) adalah salah satu induk usaha terbesar kedua di Grup Raja Garuda Mas,
perusahaan milik Sukanto Tanoto. Menurut majalah Forbes, pada tahun 2006 Tanoto
adalah keluarga paling kaya di Indonesia, dengan kekayaan mencapai US$ 2,8
miliar (sekitar Rp 25,5 triliun). PT AAG merupakan salah satu penghasil minyak
sawit mentah terbesar, yaitu memiliki 19 pabrik yang menghasilkan 1 juta ton
minyak sawit mentah.
Masalah dari kasus penggelapan
pajak PT Asian Agri Group bermula dari aksi Vincentius Amin Sutanto (Vincent)
membobol brankas PT AAG di Bank Fortis Singapura senilai US$ 3,1 juta pada
tanggal 13 November Vincent saat itu menjabat sebagai group financial
controller di PT AAG – yang mengetahui seluk-beluk keuangannya. Perbuatan
Vincent ini terendus oleh perusahaan dan dilaporkan ke Polda Metro Jaya.
Vincent kabur ke Singapura sambil membawa sejumlah dokumen penting perusahaan
tersebut. Dalam pelariannya inilah terjadi jalinan komunikasi antara Vincent
dan wartawan Tempo.Pelarian VAS berakhir setelah pada tanggal 11 Desember 2006
ia menyerahkan diri ke Polda Metro Jawa. Namun, sebelum itu, pada tanggal 1
Desember 2006 VAS sengaja datang ke KPK untuk membeberkan permasalahan keuangan
PT AAG yang dilengkapi dengan sejumlah dokumen keuangan dan data digital.Salah
satu dokumen tersebut adalah dokumen yang berjudul “AAA-Cross Border Tax
Planning (Under Pricing of Export Sales)”, disusun pada sekitar Dokumen ini
memuat semua persiapan transfer pricing PT AAG secara terperinci. Modusnya
dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil)
keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di bawah
harga pasar – untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga
tinggi. Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan. Selain itu,
rupanya perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi rekanan PT AA sebagian
adalah perusahaan fiktif.Pembeberan Vincent ini kemudian ditindaklanjuti oleh KPK
dengan menyerahkan permasalahan tersebut ke Direktorat Pajak – karena memang
permasalahan PT AAG tersebut terkait erat dengan perpajakan. Menindaklanjuti
hal tersebut, Direktur Jendral Pajak, Darmin Nasution, kemudian membentuk tim
khusus yang terdiri atas pemeriksa, penyidik dan intelijen
Hasil penyelidikan pada kasus ini ditemukan penggelapan pajak berupa PPh dan PPN, terdapat Rp 2,62 triliun penyimpangan pencatatan transaksi. Yang berupa menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun.mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar.mengecilkan hasil penjualan Rp 889 miliar. Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun.Perhitungan SPT Asian Agri yang digelapkan berasal dari SPT periodeAsian Agri Group mengecilkan laba perusahaan dalam negeri agar terhindar dari beban pajak yang semestinya dengan cara mengalirkan labanya ke luar negeri.
Akhirnya saetelah 7 tahun di balik
jeruji Lapas Narkotika, Vincentius Amin Sutanto, Justice Collaborator kejahatan
pajak PT Asian Agri mendapat pembebasan bersyarat pada tanggal 11 Januari 2013.
Vincent bebas, namun dalam perlindungan LPSK. Vincent disebut sebagai
justice collaborator karena telah mengungkap kasus yang memiliki nilai kerugian
negara yang besar. Semenjak Peraturan Pemerintah No 99 Tahun 2012
diresmikan, salah satu syarat utama bagi narapidana untuk mendapatkan
pembebasan bersyarat harus menjadi Justice Collaborator.
Sumber:
https://slideplayer.info/slide/13922806/
No comments:
Post a Comment