Friday, March 26, 2021

KODE ETIK KPK DAN AKUNTAN PUBLIK

 

Kode Etik KPK

1. INTEGRITAS

Integritas merupakan kesatuan antara pola pikir, perasaan, ucapan, dan perilaku yang selaras dengan hati nurani dan norma yang berlaku di Komisi. Unsur-unsur Integritas meliputi ketaatan pada peraturan perundang-undangan, konsistensi pada nilai-nilai kebenaran, antikorupsi, kejujuran, budi luhur, kebaikan, ketepercayaan, dan reputasi yang baik. Kode Etik dari Nilai Dasar Integritas tercermin dalam Pedoman Perilaku bagi Insan Komisi sebagai berikut:

1.     Berperilaku dan bertindak secara jujur dalam pelaksanaan tugas sesuai dengan fakta dan kebenaran.

2.     Mematuhi dan melaksanakan peraturan komisi dan/atau memegang sumpah/janji sebagai Insan Komisi.

3.     Menjaga citra, harkat, dan martabat Komisi di berbagai forum, baik formal maupun informal di dalam maupun di luar negeri.

4.     Memiliki komitmen dan loyalitas kepada Komisi serta menyampingkan kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan dalam pelaksanaan tugas.

5.     Melaporkan apabila mengetahui adanya dugaan pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh Insan Komisi.

6.     Melaporkan harta kekayaan sesuai peraturan perundangundangan dan peraturan Komisi.

7.     Menolak setiap gratifikasi yang dianggap suap, yaitu yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas dan kewajiban, yang diberikan secara langsung.

8.     Wajib melaporkan setiap gratifikasi yang dianggap suap yaitu yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas dan kewajiban, yang diterima secara langsung maupun tidak langsung sesuai peraturan yang berlaku.

9.     Wajib memberitahukan kepada sesama Dewan Pengawas, sesama Pimpinan, atau atasannya apabila terdapat hubungan kedekatan atau keluarga atau yang secara intensif masih berkomunikasi dengan pihak yang ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa oleh Komisi sesuai dengan peraturan Komisi.

10.  Wajib mengundurkan diri dari penugasan apabila dalam pelaksanaan tugas patut diduga menimbulkan benturan kepentingan sesuai dengan peraturan Komisi.

11.  Dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka, terdakwa, terpidana, atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang diketahui perkaranya sedang ditangani oleh Komisi kecuali dalam rangka pelaksanaan tugas dan sepengetahuan Pimpinan atau atasan langsung.

12.  Memberitahukan kepada sesama Dewan Pengawas, sesame Pimpinan, atau atasannya mengenai pertemuan atau komunikasi yang telah dilaksanakan atau akan dilaksanakan dengan pihak lain yang diduga menimbulkan benturan kepentingan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi Komisi.

13.  Wajib memberikan akses kepada Dewan Pengawas terhadap seluruh fasilitas dan benda milik pribadi yang digunakan dalam pekerjaan dan jabatan Insan Komisi (seperti alat komunikasi, komputer, dan alat transportasi) untuk kepentingan pemeriksaan dan penegakan dugaan pelanggaran berat kode etik.

14.  Tidak menyalahgunakan jabatan dan/atau kewenangan yang dimiliki termasuk menyalahgunakan pengaruh sebagai Insan Komisi baik dalam pelaksanaan tugas, maupun kepentingan pribadi.

15.  Tidak menyalahgunakan tanda pengenal Insan Komisi, surat penugasan, ataupun bukti kepegawaian lainnya;

16.  Tidak menerima penghasilan lain yang menimbulkan benturan kepentingan dengan tugas dan fungsi Komisi serta merugikan kepentingan Komisi.

17.  Tidak melakukan pekerjaan atau memiliki usaha/badan usaha yang memberikan jasa maupun usaha dagang yang berkaitan dengan tugas dan fungsi Komisi serta menimbulkan benturan kepentingan.

18.  Tidak menerima honorarium atau imbalan dalam bentuk apapun dari pihak lain terkait dengan pelaksanaan tugas kecuali uang transpor, uang harian (uang saku, transpor lokal, uang makan), akomodasi, makanan dan minuman yang dihidangkan dalam rangka rapat, pelatihan, seminar/lokakarya, kemitraan, dan sosialisasi yang berlaku secara umum dan sesuai peraturan Komisi serta sepanjang tidak dibiayai oleh Komisi.

19.  Dilarang memberitahukan, meminjamkan, mengirimkan atau mentransfer, mengalihkan, menjual atau memperdagangkan, memanfaatkan seluruh atau sebagian dokumen, data, atau informasi milik Komisi dalam bentuk elektronik atau nonelektronik untuk kepentingan pribadi, kepada pihak yang tidak berhak, atau membiarkan hal tersebut terjadi kecuali atas persetujuan atasan langsung atau Pimpinan Komisi.

20.  Menjaga rahasia yang dipercayakan kepadanya, termasuk hasil rapat yang dinyatakan sebagai rahasia, sampai batas waktu yang telah ditentukan atau sampai masalah tersebut sudah dinyatakan terbuka untuk umum sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

21.  Dilarang menyembunyikan, mengubah, memindahtangankan, menghancurkan, merusak catatan atau dokumen milik Komisi kecuali untuk kepentingan pelaksanaan tugas.

22.  Dilarang menggunakan dokumen, barang, dan fasilitas milik Komisi untuk hal-hal di luar pelaksanaan tugas kecuali atas persetujuan atasan.

23.  Dilarang menggunakan poin atau manfaat dari program frequent flyer, point rewards, atau sejenisnya yang diperoleh dari pelaksanaan perjalanan dinas untuk ditukarkan dengan tiket pesawat, barang, dan/atau voucer guna kepentingan pribadi.

24.  Tidak mengikutsertakan keluarga atau pihak lain yang tidak terkait dengan pelaksanaan tugas pada saat melakukan perjalanan dinas kecuali terdapat alasan kemanusiaan dan berdasarkan izin atasan langsung dan tidak menghambat atau menyampingkan pelaksanaan tugas serta tidak merugikan keuangan Komisi.

25.  Dilarang memasuki tempat yang dipandang tidak pantas secara etika dan moral yang berlaku di masyarakat, seperti tempat prostitusi, perjudian, dan kelab malam kecuali karena penugasan.

26.  Menyadari sepenuhnya bahwa seluruh sikap dan tindakannya selalu melekat dalam kapasitasnya sebagai Insan Komisi.

27.  Tidak menunjukkan gaya hidup hedonisme sebagai bentuk empati kepada masyarakat terutama kepada sesama Insan Komisi.

28.  Menggunakan media sosial dengan bijak dan bertanggung jawab.

 

 

2. SINERGI

Sinergi adalah kesesuaian pemikiran dan cara pandang terhadap masalah pemberantasan korupsi dari pelaku-pelaku atau elemen-elemen organisasi yang berbeda. Dengan demikian, Sinergi dimaknai sebagai relasi kolaboratif yang bermanfaat dari para pelaku atau elemen untuk mencapai tujuan bersama baik di dalam, maupun di luar organisasi tanpa mengurangi independensi para pelaku.

Unsur-unsur sinergi meliputi kesamaan pemikiran, kerja sama, harmonisasi, prasangka baik, kemitraan, kolaborasi, produktivitas bersama, dan sinkronisasi. Kode Etik dari Nilai Dasar Sinergi tercermin dalam Pedoman Perilaku bagi Insan Komisi sebagai berikut:

1.     Bersedia bekerja sama dan membangun kemitraan yang harmonis dengan seluruh pemangku kepentingan untuk menemukan dan melaksanakan solusi terbaik, bermanfaat, dan berkualitas.

2.     Saling berbagi informasi, pengetahuan, dan data untuk meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi kecuali yang bersifat rahasia atau yang harus dirahasiakan.

3.     Dilarang melakukan perbuatan yang menimbulkan suasana kerja yang tidak kondusif dan harmonis.

4.     Tidak menyebarkan berita bohong dan/atau informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, yang dapat menimbulkan rasa kebencian dan/atau permusuhan.

5.     Tidak melakukan perbuatan yang menunjukkan ego sectoral tanpa mengurangi independensi dalam pelaksanaan tugas, baik di lingkungan eksternal maupun internal Komisi.

6.     Bersedia untuk berbagi solusi, informasi, dan/atau data sesuai kewenangan untuk menyelesaikan masalah dalam pelaksanaan tugas kecuali yang bersifat rahasia atau yang harus dirahasiakan.

7.     Bersikap kooperatif dengan pihak yang berasal dari unit kerja lain yang terkait dalam pelaksanaan tugas.

8.     Tidak mengingkari komitmen terhadap keputusan bersama dan implementasinya.

 

 

3. KEADILAN

Adil bermakna menempatkan hak dan kewajiban seseorang secara berimbang yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah memberikan perlakuan dan kesempatan yang sama terhadap setiap manusia.

Unsur-unsur Keadilan meliputi penghormatan terhadap asas kepastian hukum, praduga tak bersalah, dan kesetaraan di hadapan hukum, serta hak asasi manusia. Kode Etik dari Nilai Dasar Keadilan tercermin dalam Pedoman Perilaku bagi Insan Komisi sebagai berikut:

1.     Mengakui persamaan derajat dan menghormati hak serta kewajiban setiap Insan Komisi.

2.     Memenuhi kewajiban dan menuntut hak secara berimbang.

3.     Menerapkan prinsip kesetaraan di hadapan hukum.

4.     Tidak bersikap diskriminatif atau menunjukkan keberpihakan atau melakukan pelecehan terhadap perbedaan ras, jenis kelamin, agama, asal kebangsaan, kemampuan fisik atau mental, usia, status pernikahan, atau status sosial ekonomi dalam pelaksanaan tugas.

5.     Tidak bertindak sewenang-wenang atau melakukan perundungan dan/atau pelecehan terhadap Insan Komisi atau pihak lain baik di dalam maupun di luar lingkungan kerja.

6.     Memberikan kesempatan yang sama tanpa membeda-bedakan agama, suku, kemampuan fisik, atau jenis kelamin untuk pengembangan karier dan kompetensi Insan Komisi.

7.     Atasan bersikap tegas, rasional, dan transparan dalam pengambilan keputusan dengan pertimbangan yang objektif, berkeadilan, dan tidak memihak.

8.     Memberikan akses informasi yang sifatnya terbuka kepada publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 

 

4. PROFESIONALISME

Profesionalisme merupakan kompetensi untuk melaksanakan tugas dan fungsi secara baik yang membutuhkan adanya pengetahuan, keahlian, dan perilaku seseorang dalam bidang tertentu yang ditekuninya berdasarkan keilmuan dan pengalamannya.

Unsur-unsur Profesionalisme meliputi kecakapan/kompetensi dalam bidang tertentu terkait dengan pekerjaan, dorongan untuk meningkatkan kompetensi, ketaatan untuk bekerja sesuai aturan dan standar, objektivitas, independensi, kesungguhan dan keterukuran dalam bekerja, tanggung jawab, kerja keras, produktivitas, dan inovasi. Kode Etik dari Nilai Dasar Profesionalisme tercermin dalam Pedoman Perilaku bagi Insan Komisi sebagai berikut:

1.     Bekerja sesuai prosedur operasional standar (Standard Operating Procedure/SOP).

2.     Menolak perintah atasan yang bertentangan dengan prosedur operasional standar (Standard Operating Procedure/SOP) dan norma hukum yang berlaku.

3.     Menghargai perbedaan pendapat dan terbuka terhadap kritik serta saran yang membangun.

4.     Tidak terpengaruh oleh kepentingan pribadi maupun kepentingan kelompok serta tekanan public maupun media dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Komisi.

5.     Dilarang menjabat sebagai pengawas, pengurus, direksi, komisaris suatu korporasi, badan usaha, perseroan, yayasan, atau koperasi, pengurus atau anggota partai politik, atau jabatan profesi lainnya selama bertugas di Komisi.

6.     Mengutamakan pelaksanaan tugas daripada kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan.

7.     Menyelesaikan tugas atau pekerjaan secara akuntabel dan tuntas.

8.     Berani mengakui dan bertanggung jawab atas kesalahannya.

9.     Bertanggung jawab terhadap keamanan barang, dokumen, data, dan informasi milik Komisi yang berada dalam penguasaannya.

10.  Mengoptimalkan kompetensi yang dimiliki untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan.

11.  Tidak menghalangi Insan Komisi untuk melakukan inovasi yang mendukung peningkatan efektivitas dan efisiensi dalam pelaksanaan tugas Komisi.

12.  Mampu beradaptasi terhadap perubahan ke arah yang lebih baik.

13.  Tidak merespons kritik dan saran secara negatif dan berlebihan.

14.  Dilarang mengeluarkan pernyataan kepada publik yang dapat memengaruhi, menghambat atau mengganggu proses penanganan perkara oleh Komisi.

15.  Tidak bermain golf atau olahraga lainnya dengan pihak atau pihak-pihak yang secara langsung atau tidak langsung berpotensi menimbulkan benturan kepentingan dengan Komisi.

16.  Melaksanakan kegiatan terkait tugas atau jabatannya dengan izin atau sepengetahuan atasan.

 

 

5. KEPEMIMPINAN

Kepemimpinan adalah kemampuan untuk menggerakkan dan memengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan serta keberanian untuk mengambil keputusan tepat pada waktunya yang dapat dipertanggungjawabkan.

Unsur-unsur Kepemimpinan meliputi orientasi pada pelayanan, kesetaraan, keteladanan, kepeloporan, penggerak perubahan, daya persuasi, inisiatif, dan kemampuan membimbing perilaku seseorang atau sekelompok orang.

Kode Etik dari Nilai Dasar Kepemimpinan tercermin dalam Pedoman Perilaku bagi Insan Komisi sebagai berikut:

1.     Menunjukkan penghargaan dan kerja sama dengan seluruh lembaga dan aparatur negara untuk kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2.     Atasan wajib memberikan kesempatan kepada bawahan untuk menunaikan ibadah ketika rapat kerja atau tugas kedinasan sedang berlangsung.

3.     Memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Komisi.

4.     Saling menghormati dan menghargai sesama Insan Komisi dalam pelaksanaan tugas dan pergaulan sehari-hari.

5.     Menilai kinerja Insan Komisi secara objektif berdasarkan kriteria yang jelas dan terukur sesuai peraturan Komisi.

6.     Menunjukkan keteladanan dalam tindakan dan perilaku sehari-hari.

7.     Membimbing Insan Komisi yang dipimpin dalam pelaksanaan tugas.

8.     Memberikan apresiasi terhadap hasil kerja dan prestasi setiap individu dan mendorong Insan Komisi yang dipimpin untuk meningkatkan prestasi kerjanya.

9.     Tidak bertindak sewenang-wenang atau tidak adil atau bersikap diskriminatif terhadap bawahan atau sesama Insan Komisi.

10.  Atasan wajib menegur bawahan yang terbukti melakukan pelanggaran.

11.  Atasan harus berani mengambil keputusan dalam situasi sulit dan berani menghadapi serta menerima konsekuensinya.

12.  Bersikap tegas dalam penerapan prinsip, nilai, dan keputusan yang telah disepakati.

13.  Terbuka terhadap usulan perbaikan.

14.  Menghindari sikap, tingkah laku, atau ucapan yang dilakukan untuk mencari popularitas, pujian, atau penghargaan dari siapa pun dalam pelaksanaan tugas Komisi.


Kode Etik Profesi Akuntan Publik

Lima prinsip dasar etika untuk Anggota adalah:

1.     Integritas - bersikap lugas dan jujur dalam semua hubungan profesional dan bisnis.

2.     Objektivitas - tidak mengompromikan pertimbangan profesional atau bisnis karena adanya bias, benturan kepentingan, atau pengaruh yang tidak semestinya dari pihak lain.

3.     Kompetensi dan Kehati hatian Profesional untuk:

a.     Mencapai dan mempertahankan pengetahuan dan keahlian profesional pada level yang disyaratkan untuk memastikan bahwa klien atau organisasi tempatnya bekerja memperoleh jasa profesional yang kompeten, berdasarkan standar profesional dan standar teknis terkini serta ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku; dan

b.     Bertindak sungguh sungguh dan sesuai dengan standar profesional dan standar teknis yang berlaku.

4.     Kerahasiaan - menjaga kerah asiaan informasi yang diperoleh dari hasil hubungan professional dan bisnis.

5.     Perilaku Profesional - mematuhi peraturan perundang undangan yang berlaku dan menghindari perilaku apapun yang diketahui oleh Anggota mungkin akan mendiskreditkan profesi Anggota.


Sumber:

https://www.kpk.go.id/images/01/kodeetik/PERDEWAS-01-Tahun-2020-Kode-Etik--Pedoman-Prilaku-KPK.pdf

https://iapi.or.id/uploads/article/38-KODE_ETIK_PROFESI_AKUNTAN_PUBLIK_2020.pdf




Thursday, March 25, 2021

DAUBERT CASE

 

Daubert Standard

Daubert Standard merupakan standard aturan yang diterbitkan oleh Pengadilan Federal Amerika pada tanggal 28 Juni 1993 berdasarkan peraturan Daubert v. Merrell Dow Pharmaceuticals, 509 U.S. 579, 113 S.Ct. 2786, 125 L.Ed. 2d 469, (U.S. Jun 28, 1993) (NO. 92-102). Pada Daubert Standard ini, Mahkamah Agung AS merubah standardnya dengan menerima kesaksian dari saksi ahli dalam pengadilan dan menjadi barang bukti yang sah.  Namun, kesaksian yang disampaikan oleh saksi ahli dalam pengadilan juga dibatasi. Seperti yang disampaikan oleh Fradella (2003) dalam publikasinya menyebutkan, Seorang saksi ahli yang bersaksi, tidak diizinkan memberikan kesaksian diluar ‘bidang keahlian’ yang dimilikinya. Hakim akan memberikan batas-batas terkait kesaksian yang disampaikan oleh saksi ahli, namun keterangan yang disampaikannya dalam lingkup keahliannya, tetap akan menjadi barang bukti yang sah.

Daubert Standard merupakan standard aturan yang menggantikan menggantikan Frye Standard. Dimana Frye Standard adalah Standard yang berasal dari Frye v. United States, 293 F. 1013 (D.C. Cir. 1923). Frye menetapkan bahwa pembuktian barang bukti dalam pengadilan berdasarkan pembuktian secara ilmiah. Dimana hanya barang bukti yang dianalisis dengan menggunakan metodologi secara ilmiah yang akan diterima di mata hukum.

Perbedaan mendasar antara Frye dan Daubert ini adalah, pada Frye, pembuktian barang bukti memang harus berdasarkan metode ilmiah, sedangkan pada Daubre, pembuktian barang bukti, selain berdasarkan metode ilmiah, juga dapat berdasarkan kesaksian dari saksi ahli yang mempunyai keahlian khusus dalam bidang tertentu. Sehingga penggunaan Daubert Standard inilah yang lebih cocok diterapkan zaman sekarang ini, karena ketika ditemukan sebuah barang bukti baru yang belum ada metode ilmiah untuk membuktikannya, maka seorang saksi ahli yang telah berpengalaman dan mempunyai ilmu dibidang tersebut, dapat memberikan kesaksian dan kesaksiannya menjadi barang bukti yang sah.

 

Sejarah Daubert Case

Kasus ini adalah kasus yang dibawa oleh dua anak lahir cacat yang mereka klaim disebabkan oleh obat antimual, Bendectin. Satu-satunya obat yang disetujui oleh FDA (Food and Drug Administration) untuk wanita hamil, telah diberikan kepada lebih dari 17.500.000 wanita sebelum dikeluarkan dari pasaran. Pengacara Penggugat berpendapat bahwa ribuan anak yang lahir cacat lahir dari ibu yang menggunakan Bendektin dan ini membuktikan bahwa Bendektin menyebabkan cacat lahir. Merrill-Dow mengajukan keputusan singkat dalam kasus ini, mengklaim obatnya tidak menyebabkan cedera pada anak tersebut. Untuk mendukung gerakannya, Merrill-Dow mengajukan pernyataan tertulis dari seorang dokter dan ahli epidemiologi, Dr. Steven H. Lamm, yang merupakan otoritas yang dihormati di bidang risiko kesehatan dari paparan zat kimia. Dalam pernyataan tertulisnya, Dr. Lamm menyatakan bahwa dia telah meninjau 30 penelitian yang diterbitkan yang melibatkan lebih dari 130.000 pasien dan tidak ada dari penelitian tersebut yang menemukan Bendectin menyebabkan cedera pada janin. Atas dasar itu, ia menyimpulkan bahwa penggunaan Bendektin pada trimester pertama kehamilan bukan merupakan faktor risiko terjadinya cacat lahir pada manusia.

Menanggapi pergerakan Merrill-Dow, Daubert menyajikan pernyataan tertulis dari delapan ahli, berdasarkan penelitian pada hewan, mengklaim telah menemukan hubungan antara Bendektin dan cacat lahir. Tetapi pada pengadilan persidangan diungkapkan bahwa para ahli Daubert mengandalkan bukti "tidak cukup mapan untuk diterima secara umum di bidangnya." Pengadilan menemukan bahwa karena ada banyak sekali data epidemiologi manusia di area ini, penelitian sel hewan tidak cukup untuk mengangkat masalah juri yang masuk akal mengenai penyebabnya. Pengadilan selanjutnya menemukan bahwa analisis oleh para ahli ini, yang menyerang analisis epidemiologi yang dikutip oleh Dr. Lamm berdasarkan "penghitungan ulang" data dalam penelitian yang diterbitkan sebelumnya, tidak dapat diterima karena temuan tersebut belum dipublikasikan atau ditinjau oleh rekan sejawat di bidang epidemiologi.

Kasus ini diajukan ke Mahkamah Agung Amerika Serikat di mana putusan pengadilan yang lebih rendah dibatalkan dan standar baru penerimaan dibuat. Mahkamah Agung, dalam menyikapi fakta Daubert berkaitan dengan bukti ilmiah dan kesaksian ahli, pertama-tama dibuat analisis dua langkah yang akan digunakan oleh pengadilan distrik federal dalam bertindak sebagai "penjaga gerbang" dari pengenalan kesaksian ahli. Kriteria tersebut adalah (1) bukti relevan dan (2) reliabel. Dalam menentukan masalah apakah bukti akan dianggap dapat diandalkan, Pengadilan menetapkan tes empat bagian yang terpisah dan tidak eksklusif: (1) dapatkah teori atau teknik diuji, (2) apakah telah ditinjau dan dipublikasikan oleh sejawat, (3) apakah ada tingkat kesalahan yang diketahui atau potensial, dan (4) apakah ada tingkat penerimaan umum dalam komunitas disiplin ilmu tersebut, mirip dengan yang pertama? Jadi, masalah tunggal Frye test diperluas untuk memasukkan faktor-faktor baru ini dalam mengevaluasi kualitas - dan penerimaan yang dihasilkan - dari bukti ilmiah dan kesaksian ahli.

Pengadilan negara terbagi atas apakah mereka akan mengikuti Daubert atau terus gunakan Frye standar. Dari berbagai pengadilan negara telah memutuskan untuk mengikuti Daubert, kecuali Georgia dan Connecticut yang memiliki standar kesaksian ahli yang mirip dengan Peraturan federal 702. Namun bahkan di yurisdiksi tersebut, sejumlah telah diterapkan Daubert untuk kasus bukti ilmiah tertentu saja. Negara bagian lain, untuk bukti yang dianalogikan dengan Aturan 702, telah memilih untuk tetap mengikuti Frye standar.



Sumber:

https://biotech.law.lsu.edu/map/TheDaubertCase.html

https://www.encyclopedia.com/science/encyclopedias-almanacs-transcripts-and-maps/frye-standard

https://www.grahamcpa.com/media/The%20History%20of%20the%20Daubert%20Case.pdf

https://www.aquilogic.com/pdf/Expert%20Testimony%20and%20the%20Daubert%20and%20Frye%20Standards.pdf

https://www.differencebetween.com/difference-between-daubert-and-vs-frye/

Sunday, March 21, 2021

5 LEMBAGA PENELITIAN FRAUD

 Corruption Perception Index (CPI)

Corruption Perception Index (CPI) adalah indeks yang diterbitkan setiap tahun oleh Transparency International sejak 1995 yang memberi peringkat negara menurut tingkat persepsi mereka tentang sektor publik korupsi. Dalam Survei Persepsi Korupsi, terdapat tiga informasi yang tidak dapat dibaca secara terpisah:

1.  Indeks Persepsi Korupsi. Indeks ini menunjukkan penilaian responden terhadap risiko korupsi dan efektivitas pemberantasan korupsi saat ini.

2.  Pertumbuhan Skor. Pertumbuhan skor ini menunjukkan menunjukkan penurunan risiko atau efektivitas pemberantasan korupsi jika skor pertumbuhan positif, atau sebaliknya.

3. Ekspektasi Skor. Ekspektasi skor ini menunjukkan harapan dan proyeksi risiko dan efektivitas pemberantasan korupsi setahun kedepan.

Rentang skor Indeks Persepsi Korupsi berada di antara 0 hingga 100, yang berarti 0-19 Sangat Korup, 20-39 Cenderung Korup, 40-59 Rentan Korup, 60 – 79 Cenderung Bersih, 80-100 Sangat bersih.

Menurut survei yang telah diterbitkan oleh Transparency International pada tahun 2020, negara yang menduduki peringkat 1/179 dengan total skor 88 yang berarti hasilnya sangat bersih adalah New Zealand dan Denmark dan yang menduduki peringkat terakhir yaitu 179/179 dengan total skor 12 yang berarti hasilnya sangat korup adalah South Sudan dan Somalia. Untuk Indonesia sendiri menduduki peringkat 102/179 dengan total skor 37 yang berarti hasilnya cenderung korup.

Skor Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia dihasilkan dengan cara indeks komposit dari 32 jenis pertanyaan tentang praktik korupsi di daerah. Dari 32 jenis pertanyaan tersebut dikategori menjadi 5 kategori utama: prevalensi korupsi, akuntabilitas publik, motivasi korupsi, sektor terdampak korupsi, dan efektivitas pemberantasan korupsi. Nilai rerata dari 5 kategori adalah skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia.

 

Global Corruption Barometer (GCB)

Pada tahun 2020, Transparency International kembali merilis laporan Global Corruption Barometer – Asia. Global Corruption Barometer (GCB) merupakan survei mengenai opini publik terkait korupsi dan praktik suap berdasarkan persepsi dan pengalaman masyarakat di masing-masing negara, salah satunya adalah Indonesia. Survei yang sebelumnya juga dilakukan pada tahun 2017 dan 2013 ini menilai berbagai praktik korupsi dan suap seperti koneksi personal, institusi yang paling korup, tingkat korupsi dalam kurun waktu 12 bulan terakhir, kinerja pemerintah dalam memberantas korupsi, dan peran masyarakat dalam membuat perubahan untuk memberantas korupsi.

Survei GCB Indonesia dilakukan pada periode 15 Juni sampai 24 Juli 2020 yang dilakukan via telepon melalui metode Random Digital Dialing (RDD) dengan menggunakan kontrol kuota sebagai pendekatan sampelnya mengingat kondisi pandemi Covid-19. Survei di Indonesia melibatkan 1000 responden dengan usia di atas 18 tahun yang turut melibatkan latar belakang pendidikan, gender, dan lokasi. Komposisi responden di Indonesia terdiri dari 50,3% perempuan dan 49,7% laki-laki serta persentase kelompok usia terbanyak 38,2% dalam rentang usia 26-35 tahun. Hasil GCB ini memiliki margin of error +/- 3,1 poin persentase pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Indikator Global Corruption Barometer diantara lain adalah kinerja pemerintah, persepsi korupsi di Lembaga negara, pengalaman melakukan suap, suap dipelayanan publik, dan peranan publik. Untuk indikator yang baru GCB 2020 adalah Kinerja Lembaga Anti Korupsi (ACA), penggunaan koneksi pribadi, praktik pembelian suara dan sextortion.

 

Bribe Payers Index (BPI)


Bribe Payers Index atau Indeks Pembayar Suap adalah klasifikasi dari 30 negara pengekspor, berdasarkan tempat pemberian suap oleh perusahaan, kepada pihak-pihak di luar negara asal mereka. Survei tersebut meneliti pemberian suap oleh perusahaan yang berbasis di salah satu dari 30 negara pengekspor utama (di tingkat regional atau global). Indeks tersebut didasarkan pada dua pertanyaan, yang ditujukan kepada para eksekutif di perusahaan yang berbeda. Pertanyaan tersebut merujuk pada praktik yang berbeda dari perusahaan asing di negara mereka. Untuk mengevaluasi tawaran suap, para eksekutif ditanyai pertanyaan-pertanyaan berikut:


Dari daftar negara di bawah ini, pilih kebangsaan dari perusahaan asing yang memiliki tingkat bisnis yang signifikan di negara Anda.


- Menurut pengalaman Anda, sejauh mana perusahaan dari negara tertentu melakukan pembayaran tidak resmi atau memberikan suap? Berdasarkan jawaban yang dikumpulkan, negara diklasifikasikan dalam skala 1 sampai 10 (1 = suap adalah kejadian yang sering terjadi, 10 = tidak ada suap). Rata-rata tiap negara dihitung berdasarkan jumlah evaluasi yang ditawarkan oleh responden, tanpa menyertakan evaluasi untuk negara sendiri. Negara diklasifikasikan berdasarkan skor rata-rata yang diperoleh masing-masing negara.

Indeks tersebut didasarkan pada Executive Opinion Survey (EOS) yang dilakukan oleh World Business Forum. Forum Bisnis Dunia bertanggung jawab atas koordinasi penelitian dan pengendalian kualitas data, tetapi Forum mengandalkan jaringan lembaga yang melakukan penelitian di tingkat lokal. Mitra Forum termasuk departemen bisnis universitas nasional, pusat penelitian independen dan / atau organisasi bisnis.

Negara-negara yang termasuk dalam indeks tersebut merupakan eksportir utama di tingkat regional atau internasional, yang gabungan ekspornya pada tahun 2005 mencapai 82% dari total volume ekspor dunia.

Transparency International meluncurkan bribe payer index tahun 2011. Hasilnya menempatkan Indonesia sebagai peringkat keempat terbawah negara yang paling banyak melakukan suap dalam transaksi bisnis di luar negeri.

 

The Political & Economic Risk Consultancy (PERC)

The Political & Economic Risk Consultancy (PERC) Limited adalah perusahaan konsultan yang mengkhususkan diri dalam menyediakan informasi dan analisis bisnis strategis untuk perusahaan yang melakukan bisnis di Asia Timur dan Tenggara. PERC membuat serangkaian laporan risiko di negara-negara Asia, memberikan perhatian khusus pada variabel sosial-politik penting seperti korupsi, risiko hak kekayaan intelektual, kualitas tenaga kerja, dan kekuatan dan kelemahan sistemik lainnya dari masing-masing negara Asia.

Hasil survei (Political Economic Risk Consultancy) PERC dalam kaitannya dengan gambaran permasalahan korupsi di Indonesia, upaya-upaya yang telah dilakukan dalam pemberantasan korupsi dan peningkatan pelayanan publik, serta mengetahui bagaimana SPIP dapat mencegah korupsi di Indonesia.

 

Global Competitiveness Report (GCR)

Laporan Daya Saing Global atau Global Competitiveness Report adalah laporan tahunan dari Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum). Laporan tahun 2006-2007 memasukan 125 negara. Laporan ini "menyoal kemampuan negara-negara untuk menyediakan kemakmuran tingkat tinggi bagi warga negaranya". Hal ini tergantung dari seberapa produktif sebuah negara menggunakan sumber daya yang tersedia. Indeks ini digunakan oleh banyak kalangan akademisi.

Indeks Daya Saing Global Indonesia dilaporkan sebesar 64.629 Score pada 2019. Rekor ini turun dibanding sebelumnya yaitu 64.935 Score untuk 2018. Data Indeks Daya Saing Global Indonesia diperbarui tahunan, dengan rata-rata 64.629 Score dari 2017 sampai 2019, dengan 3 observasi. Data ini mencapai angka tertinggi sebesar 64.935 Score pada 2018 dan rekor terendah sebesar 63.488 Score pada 2017. Data Indeks Daya Saing Global Indonesia tetap berstatus aktif di CEIC dan dilaporkan oleh World Economic Forum. Data dikategorikan dalam Global Competitiveness Index (GCI) World Trend Plus – Table GCI 4.0: Overall Index: Individual Countries.

 

Sumber:

https://riset.ti.or.id/frequently-asked-questions/

https://www.transparency.org/en/cpi/2020/index/nzl

http://riset.ti.or.id/global-corruption-barometer/

https://www.transparency.org/en/gcb

https://www.transparency.org.ro/en/tiropage/bribe-payers-index

https://nasional.kompas.com/read/2011/11/03/23290798/~Nasional

https://www.cpib.gov.sg/research-room/political-economic-risk-consultancy

http://www.bpkp.go.id/puslitbangwas/konten/1530/10.470-Upaya-Pencegahan-Korupsi-Melalui-Penerapan-SPIP-Terkait-dengan-Hasil-Survai-PERC

https://www.ceicdata.com/id/indicator/indonesia/global-competitiveness-index