Thursday, July 11, 2019

Kasus Perlindungan Konsumen


Contoh Kasus Perlindungan Konsumen

Kembalian Uang Alfamart

Sengketa antara Mustolih dan PT Sumber Alfaria Trijaya (PT SAT) yang awalnya diselesaikan di Komisi Informasi Pusat dan kemudian berlanjut di Pengadilan Negeri Tangerang , pada dasarnya adalah sengketa yang terkait dengan perlindungan konsumen. Mustolih adalah seorang konsumen yang berbelanja di Alfamart, sebuah toko yang dikelola PT SAT. Sedangkan PT SAT adalah pelaku usaha di bidang ritel. Baik Mustolih maupun PT SAT, keduanya tunduk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Sebagai konsumen, Mustolih memiliki hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa . Dalam kasus sengketa dengan PT SAT, Mustolih ingin menggunakan haknya untuk mengetahui informasi mengenai penggunaan uang kembalian yang didonasikan melalui Alfamart kepada beberapa  yayasan sosial. Memang uang kembalian tersebut tidak dikategorikan sebagai barang yang dikonsumsi. Namun upaya Alfamart untuk menjadi penghubung antara yayasan sosial dengan konsumen yang ingin berdonasi dapat dikategorikan sebagai jasa.

Sebagai pelaku usaha, berdasarkan pasal 7 butir b UU Nomor 8 Tahun 1999, PT SAT berkewajiban untuk memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan . Oleh karena itu, hasil dari jasa pengumpulan donasi yang dilakukan oleh PT SAT melalui kasir Alfamart wajib dilaporkan penggunaannya secara benar, jelas, dan jujur. Tidak ada penjelasan  lebih lanjut tentang maksud benar, jelas, dan jujur dalam UU Nomor 8 Tahun 1999.




Sumber :

Kasus Hak Cipta


Contoh Kasus Hak Cipta

Kasus Hak Cipta Kain

SEMARANG, KOMPAS.com - Setelah menetapkan Presiden Komisaris PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT) Sumitro (44) masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) pada 23 Januari lalu, Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jawa Tengah kembali menetapkan satu orang dalam DPO. Dia adalah Komisaris Utama perusahaan tersebut Indriati (65), yang resmi ditetapkan masuk DPO sejak 2 Februari 2013.

Keduanya merupakan tersangka dalam kasus dugaan pelanggaran hak cipta kain. Perusahaan tersebut memproduksi kain kode benang kuning yang sebenarnya merupakan milik PT Sritex. Kode benang kuning merupakan istilah yang dipakai untuk melabeli kain dengan kualitas bagus. Hak cipta atas kain tersebut dipegang oleh PT Sritex.

Kabid Humas Polda Jawa Tengah Kombes Pol Djihartono mengatakan penetapan DPO untuk Indriati tersebut dikarenakan saat dilakukan penjemputan pada Jumat (1/2/2013), tersangka tidak ditemukan. "Tim kami Jumat kemarin (1/2/2013) melakukan penjemputan di rumahnya di Kecamatan Jebres, Kota Surakarta tapi ternyata sudah kosong," ujarnya, Senin (4/2/2013).

Terkait dengan penetapan DPO tersebut, Polda Jateng, ungkap Djihartono, segera menggandeng Direktorat Jenderal Imigrasi Republik Indonesia dan Interpol untuk melakukan perburuan. "Secepatnya kami berkoordinasi dengan Imigrasi untuk mencegah mereka kabur ke luar negeri," ujarnya. Sedangkan dengan Interpol, pihaknya akan segera memberikan data jika dua orang tersebut merupakan DPO. Sehingga jika memang keduanya diketahui sudah berada di luar negeri tetap bisa ditangkap.

Djihartono mengaku akan terus berupaya untuk segera menemukan kedua buronan itu. Djihartono menambahkan, kasus ini bermula saat PT Sritex melaporkan adanya pemalsuan kain oleh PT DMDT pada Juli 2011 lalu di Polres setempat. Kasus ini kemudian diambil alih Ditreskrimsus Polda Jateng.
Pada Oktober 2011 Ditreskrimsus sudah menahan dua tersangka yakni Direktur PT DMDT Jau Tau Kwan serta distributor kain Ratu Modern di Tanah Abang, Jakarta, Lie Lay Hok sebagai pemesan kain di PT DMDT. Pada 22 Maret 2012, Jau Tau Kwan mendapatkan vonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Karanganyar. Namun pada Agustus 2012, Mahkamah Agung (MA) justru menjatuhi hukuman satu tahun penjara dengan denda Rp1 miliar.

Sayangnya, keberadaan terdakwa juga tidak diketahui. Djihartono mengatakan, dalam kasus tersebut para tersangka dijerat dengan Pasal 72 ayat 1 atau ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta juncto Pasal 55 KUHP dan atau Pasal 56 KUHP. 


Badan Arbitrase Syariah Nasional


Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)

Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah perubahan dari nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang merupakan salah satu wujud dari Arbitrase Islam yang pertama kali didirikan di Indonesia. Pendirinya diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), tanggal 05 Jumadil Awal 1414 H bertepatan dengan tanggal 21 Oktober 1993 M. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) didirikan dalam bentuk badan hukum yayasan sesuai dengan akta notaris Yudo Paripurno, S.H. Nomor 175 tanggal 21 Oktober 1993.

Peresmian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) dilangsungkan tanggal 21 Oktober 1993. Nama yang diberikan pada saat diresmikan adalah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). Peresmiannya ditandai dengan penandatanganan akta notaris oleh dewan pendiri, yaitu Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat yang diwakili K.H. Hasan Basri dan H.S. Prodjokusumo, masing-masing sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebagai saksi yang ikut menandatangani akta notaris masing-masing H.M. Soejono dan H. Zainulbahar Noor, S.E. (Dirut Bank Muamalat Indonesia) saat itu. BAMUI tersebut di Ketuai oleh H. Hartono Mardjono, S.H. sampai beliau wafat tahun 2003.

Kemudian selama kurang lebih 10 (sepuluh) tahun Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) menjalankan perannya, dan dengan pertimbangan yang ada bahwa anggota Pembina dan Pengurus Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) sudah banyak yang meninggal dunia, juga bentuk badan hukum yayasan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sudah tidak sesuai dengan kedudukan BAMUI tersebut, maka atas keputusan rapat Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Nomor : Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) diubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang sebelumnya direkomendasikan dari hasil RAKERNAS MUI pada tanggal 23-26 Desember 2002. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang merupakan badan yang berada dibawah MUI dan merupakan perangkat organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di Ketuai oleh H. Yudo Paripurno, S.H.

Kehadiran Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sangat diharapkan oleh umat Islam Indonesia, bukan saja karena dilatar belakangi oleh kesadaran dan kepentingan umat untuk melaksanakan syariat Islam, melainkan juga lebih dari itu adalah menjadi kebutuhan riil sejalan dengan perkembangan kehidupan ekonomi dan keuangan di kalangan umat. Karena itu, tujuan didirikan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sebagai badan permanen dan independen yang berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri keuangan, jasa dan lain-lain dikalangan umat Islam.
Sejarah berdirinya Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) ini tidak terlepas dari konteks perkembangan kehidupan sosial ekonomi umat Islam, kontekstual ini jelas dihubungkan dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Syariah (BPRS) serta Asuransi Takaful yang lebih dulu lahir.

Di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan belum diatur mengenai bank syariah, akan tetapi dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta sistem keuangan yang semakin maju diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi, termasuk perbankan. Bahwa dalam memasuki era globalisasi dan dengan telah diratifikasinya beberapa perjanjian internasional di bidang perdagangan barang dan jasa, diperlukan penyesuaian terhadap peraturan Perundang-undangan di bidang perekonomian, khususnya sektor perbankan, oleh karena itu dibuatlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan yang mengatur tentang perbankan syariah. Dengan adanya Undang-undang ini maka pemerintah telah melegalisir keberadaan bank-bank yang beroperasi secara syariah, sehingga lahirlah bank-bank baru yang beroperasi secara syariah. Dengan adanya bank-bank yang baru ini maka dimungkinkan terjadinya sengketa-sengketa antara bank syariah tersebut dengan nasabahnya sehingga Dewan Syariah Nasional menganggap perlu mengeluarkan fatwa-fatwa bagi lembaga keuangan syariah, agar didapat kepastian hukum mengenai setiap akad-akad dalam perbankan syariah, dimana di setiap akad itu dicantumkan klausula arbitrase yang berbunyi : ‘’Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara para pihak maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah”.

Dengan adanya fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional tersebut dimana setiap bank syariah atau lembaga keuangan syariah dalam setiap produk akadnya harus mencantumkan klausula arbitrase, maka semua sengketa-sengketa yang terjadi antara perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah dengan nasabahnya maka penyelesaiannya harus melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).

Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) berdiri secara otonom dan independen sebagai salah satu instrumen hukum yang menyelesaikan perselisihan para pihak, baik yang datang dari dalam lingkungan bank syariah, asuransi syariah, maupun pihak lain yang memerlukannya. Bahkan, dari kalangan non muslim pun dapat memanfaatkan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) selama yang bersangkutan mempercayai kredibilitasnya dalam menyelesaikan sengketa.

Lahirnya Badan Arbitrase Syariah Nasional ini, menurut Prof. Mariam Darus Badrulzaman, sangat tepat karena melalui Badan Arbitrase tersebut, sengketa-sengketa bisnis yang operasionalnya mempergunakan hukum Islam dapat diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam.



Sumber:

KPPU


Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

Latar Belakang
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah lembaga independen yang memiliki tugas utama melakukan penegakan hukum persaingan sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999. Dalam melaksanakan tugas tersebut, KPPU diberi wewenang untuk menyusun pedoman yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, sebagaimana tercantum dalam pasal 35 huruf. Sebagai bagian dari pelaksanaan Pasal 35 huruf f tersebut, KPPU menyusun pedoman pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengenai definisi pasar bersangkutan. Pendefinisian pasar bersangkutan merupakan sebuah bagian yang sangat penting dalam proses pembuktian penegakan hukum persaingan, terutama menyangkut beberapa potensi penyalahgunaan penguasaan pasar oleh pelaku usaha tertentu. Upaya menguraikan pasar bersangkutan memiliki kompleksitas yang tersendiri, yang terkait dengan konsep dan metodologi ekonomi, sehingga untuk memahaminya diperlukan pedoman yang bisa menjelaskan bagaimana sebuah pasar bersangkutan ditetapkan dalam sebuah kasus persaingan. Dalam kaitan dengan itulah pedoman pasar bersangkutan ini disusun dan diharapkan dapat memberikan penjelasan kepada seluruh stakeholder hukum persaingan mengenai pendefinisian pasar bersangkutan serta metode pendekatan yang digunakan oleh KPPU melaksanakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat.

Tujuan Pembuatan Pedoman Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dibentuk untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Salah satu tugas yang diamanatkan kepada KPPU berdasarkan Pasal 35 huruf f Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah menyiapkan Pedoman atas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pedoman dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, khususnya dalam pasal tertentu agar mudah dipahami oleh stakeholder hukum persaingan. Sebagaimana tujuan penyusunan pedoman oleh KPPU, maka tujuan dari penyusunan Pedoman Pasar Bersangkutan adalah untuk :
a. Memberikan pengertian yang jelas, benar dan tepat tentang apa yang dimaksud dengan pasar bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;
b. Memberikan dasar pemahaman dan arah yang jelas dalam pendefinisian pasar bersangkutan menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, sehingga tidak menimbulkan kemungkinan adanya penafsiran lain selain yang diuraikan dalam Pedoman ini; dan
c. Digunakan oleh semua pihak sebagai landasan informasi agar dapat menciptakan adanya kondisi persaingan usaha yang dapat tumbuh secara sehat.
Pedoman tentang pasar bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana KPPU melakukan pemeriksaan dalam melaksanakan penegakan hukum atau memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah, namun lebih diarahkan kepada upaya memberikan pengertian, cakupan serta batasan-batasan yang jelas tentang hal-hal yang berkaitan dengan Pasar Bersangkutan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor Tahun 2009 Tanggal Juni 2009 3 Walaupun telah ada uraian Pedoman Pasar Bersangkutan, namun demikian pandangan dan putusan Komisi dalam proses pelaksanaan penegakan hukum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 akan tetap didahulukan.

Tugas dan Wewenang
Undang-undang No 5 Tahun 1999 menjelaskan bahwa tugas dan wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah sebagai berikut:
Tugas
  1. melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16;
  2. melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24;
  3. melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28;
  4. mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 36;
  5. memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
  6. menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-undang ini;
  7. memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Wewenang
  1. menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
  2. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
  3. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil penelitiannya;
  4. menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
  5. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;
  6. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahuipelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;
  7. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi;
  8. meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini;
  9. mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;
  10. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat;
  11. memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
  12. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.



Sumber: